Pandangan masyarakat Batak terhadap orang Aceh sejak dahulu kala menyimpan kekaguman akan kesaktian yang dianggap melebihi penduduk lokal. Sejarah mencatat, Kesultanan Aceh merupakan kekuatan maritim dan politik yang dominan di Sumatera hingga kedatangan kolonial Belanda. Lebih dari sekadar tetangga, Aceh memiliki peran signifikan dalam legitimasi kekuasaan raja-raja Batak di masa lalu.
Sebuah fakta menarik terungkap bahwa pengakuan sah bagi seorang penguasa lokal Batak menjadi raja harus melalui restu dari Kesultanan Aceh. Bentuk pengesahan ini berupa pemberian regalia kerajaan, simbol-simbol kekuasaan seperti pedang bawar dan stempel kerajaan.
Praktik ini menunjukkan adanya hierarki kekuasaan di mana raja-raja Batak mengakui supremasi Aceh sebagai penguasa tertinggi di Sumatera Utara.
Fenomena "Raja Berempat" menjadi salah satu implementasi pengaruh Aceh di Tanah Batak. Sistem ini merupakan bentukan Aceh yang diterapkan kepada para penguasa lokal yang menyatakan tunduk pada kekuasaan mereka. Wilayah-wilayah seperti Silou, Panei, Tanah Batak, hingga Samosir harus mendapatkan pengesahan dari Aceh saat pelantikan raja-raja kecil mereka.
Mengingat jarak yang membentang antara Aceh dan pedalaman Tapanuli, Kesultanan Aceh terkadang mendelegasikan wewenangnya kepada wakil-wakil mereka.
Sosok seperti Sultan Deli dan Sisingamangaraja dari Bangkara (Bakkara) pernah menjadi nazir yang mewakili Sultan Aceh dalam urusan pengesahan raja-raja Batak. Hal inilah yang melatarbelakangi pendirian Balei Raja Berempat di Dolog Saribu, sebuah tempat persidangan bagi raja-raja Batak yang berempat dengan Sisingamangaraja bertindak sebagai representasi Kesultanan Aceh.
Kisah kunjungan Sisingamangaraja (ke-12?) ke Dalig Raya menjadi saksi bisu akan kuatnya pengaruh Aceh. Tuan Rondahaim, penguasa setempat, menyambut kedatangan raja-imam dari Bangkara ini dengan persembahan khusus sebagai bentuk penghormatan. Bahkan, Tuan Rondahaim memanggil Sisingamangaraja dengan sebutan "ompung," sebuah gelar kehormatan dalam tradisi Batak. Catatan ini terekam dalam buku Pdt J Wismar Saragih, "Tuan Raya Namabajan Tuan Rondahaim," yang diterbitkan pada tahun 1937, berdasarkan penuturan saksi mata di rumah bolon Raja Raya.
Jejak kekuasaan Aceh juga terukir dalam toponimi di Samosir. Beberapa nama kampung atau lokasi mengandung unsur kata "Asih," yang diyakini merujuk pada Aceh. Contohnya adalah Merjandi Asih dan Nagori Asih di wilayah Tanah Jawa dan Silau Kahean saat ini. Penamaan ini menjadi indikasi adanya interaksi dan kemungkinan pemukiman komunitas Aceh di wilayah tersebut pada masa lampau.
Lebih lanjut, ciri khas Aceh juga terlihat pada nisan-nisan para bangsawan di Bandar, Tanah Batak, dan Samosir. Desain nisan-nisan ini menjadi bukti bisu bahwa jejak Islam telah lama hadir di Tanah Batak, jauh sebelum kedatangan para misionaris Jerman dan Belanda yang membawa agama Kristen dan Katolik ke Toba. Fakta ini menepis anggapan bahwa Islam baru masuk ke wilayah tersebut bersamaan dengan pengaruh kolonial.
Menariknya, raja-raja Suku Batak di Samosir dianggap sebagai bangsawan yang paling banyak menerima pengaruh Aceh atau Islam dibandingkan dengan raja-raja lain di Toba. Hal ini menjelaskan mengapa para penguasa inilah yang pertama kali memeluk agama Islam atau setidaknya terpengaruh oleh ajaran agama ini di antara para raja lainnya di Samosir.
Keterikatan Tuan Rondahaim dengan kekuatan Aceh bahkan terwujud dalam tindakan konkret. Ia pernah mendatangkan orang-orang Aceh sebagai tentaranya untuk mendukung ekspansi militernya di Balige. Mereka diberikan perkampungan khusus di Hitei Urat, sebuah langkah yang mungkin bertujuan untuk menjaga jarak antara para prajurit Aceh dengan masyarakat lokal atau pendatang seperti pekerja yang belum beragama.
Namun, tidak semua prajurit Aceh ini kembali ke tanah asalnya setelah masa kontrak mereka berakhir. Sebagian dari mereka memilih untuk menetap di Tapanuli Utara. Merekalah yang kemudian menjadi pionir penyebaran agama Islam di wilayah Tapanuli Selatan hingga Simalungun pada abad ke-19. Keberadaan mereka menjadi cikal bakal komunitas Muslim di daerah tersebut, meski Tanah Batak, Simalungun dan Karo sudah lama menerima Islam seperti yang diungkap oleh Pustaka Alim Kembaren, Sejarah Raja-raja Barus dll, bahkan Kerajaan Aru sudah Islam sejak abad ke-10.
Di sisi lain, terdapat pula artefak-artefak yang mengindikasikan keberadaan komunitas Aceh di wilayah Samosir.
Kumpulan patung yang terletak di dekat sebuah kampung, sekitar dua puluh meter di atas sungai, dikenal dengan nama "Aseh," yang berarti Aceh. Konon, tempat ini pernah menjadi permukiman keturunan pasukan artileri Aceh yang dikontrak oleh salah satu raja Batak Samosir dan memilih untuk menetap di tanah yang mereka perjuangkan.
Patung-patung ini tidak hanya sekadar artefak sejarah, tetapi juga mendapatkan penghormatan khusus dari masyarakat setempat. Mereka dianggap sebagai jimat desa yang dipuja pada berbagai kesempatan, baik saat sakit maupun ketika terjadi bencana. Keberadaan patung-patung ini menjadi bukti adanya memori kolektif tentang kehadiran dan peran orang Aceh di wilayah tersebut.
Kelompok patung tersebut terdiri dari figur laki-laki, perempuan, anak-anak, dan pembantu yang masih relatif utuh. Detail pada patung pria, seperti telinga kiri yang berlubang dan gaya penggambaran yang khas, menunjukkan kemiripan dengan arca tembaga dan kayu buatan orang Batak.
Kepala para figur, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, ditutupi semacam kopiah, mengingatkan pada helm yang terdapat pada patung Pasemah di Palembang.
Selain kelompok patung di atas sungai, ditemukan pula kumpulan patung kecil namun indah di dekat dusun Silakkidir.
Lokasi ini diyakini sebagai bekas kediaman Pangeran Batanggiou yang sakti. Di antara patung-patung tersebut terdapat figur perempuan duduk dengan dua anak di pangkuannya, arca gajah dengan penunggang yang sayangnya patah, serta patung ular setinggi satu meter. Keberagaman bentuk dan ukuran patung ini semakin memperkaya pemahaman akan interaksi budaya antara Aceh dan Batak di masa lalu.
Keberadaan Kramat "Panghoeloe Balang" di Mardjandi Aseh, yang merupakan pemukiman keturunan tentara bayaran Aceh untuk tentara raja Tanah Batak, menjadi penanda penting lainnya. Lokasi ini secara eksplisit menunjukkan adanya hubungan militer dan permukiman antara kedua komunitas.
Studi oleh C.J. Westenberg, seorang pegawai pemerintah dalam negeri di Hindia Belanda, memberikan perspektif menarik mengenai perbedaan sistem pemerintahan antara suku Batak Karo dan Simalungun. Wilayah yang dihuni kedua suku ini terbagi menjadi dua kelompok dari sudut pandang pemerintahan: "dusun" yang berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan kecil Melayu pesisir yang tunduk pada Belanda, dan daerah-daerah merdeka di pedalaman.
Meskipun secara administratif berada di bawah kekuasaan raja dan kepala Melayu, terutama di desa-desa pegunungan, kekuasaan tersebut seringkali hanya bersifat nominal. Orang-orang Batak di sana cenderung hidup mandiri, bahkan sering terlibat konflik antar sesama. Nasihat dan perintah dari para Sultan atau Datu untuk menjaga ketertiban jarang dipatuhi.
Namun, sejak tahun 1888, pemerintah Belanda mulai memberikan perhatian lebih besar pada wilayah Batak. Sejak saat itu, kondisi berangsur membaik, kerusuhan mereda, dan campur tangan dari daerah merdeka ke urusan dusun berhasil dihentikan. Di sisi lain, kekuasaan raja-raja Melayu ditegakkan kembali di bawah pengawasan Belanda.
Dalam hal hukum, perkara tetap diselesaikan berdasarkan hukum adat Batak, bukan hukum Eropa. Pemerintah kolonial menyadari bahwa penerapan hukum Eropa tidak sesuai dengan cara hidup dan pemikiran masyarakat pribumi.
Seiring terciptanya ketertiban di dusun-dusun, pengaruh pemerintah Belanda juga mulai merambah daerah-daerah merdeka.
Pengaruh ini membawa manfaat bagi penduduk setempat, sehingga istilah "merdeka" di Simalungun menjadi relatif.
Perbedaan mencolok dalam sistem pemerintahan terlihat antara orang Simalungun dan Karo. Orang Simalungun menganut sistem kerajaan mutlak dengan kekuasaan terpusat pada seorang raja, sementara orang Karo memiliki sistem gotong royong dan kekeluargaan dengan kekuasaan yang terbagi di antara banyak pemimpin kecil.
Di wilayah Karo yang disebut Si Pitoe Kuta, misalnya, kekuasaan terbagi di antara seorang Sibajak (pemimpin utama), empat Penghulu, dan dua Anak Beru. Ketika muncul persoalan penting, para pemimpin ini bermusyawarah di tempat terbuka.
Suasana rapat para kepala adat Batak Karo seringkali penuh perdebatan, namun tetap tertib. Aturan adat ditafsirkan berbeda-beda sesuai kepentingan, dan pelanggar hukum yang kaya sering mendapatkan pembelaan. Perdebatan bisa berlangsung berjam-jam, namun jika menyangkut orang kecil, keputusan biasanya dapat dicapai.
Sebaliknya, jika perkara melibatkan para kepala adat atau orang terpandang, mereka jarang menerima putusan yang merugikan. Akibatnya, konflik seringkali diselesaikan dengan kekerasan. Sistem pewarisan jabatan kepala adat yang tidak jelas juga memicu pertikaian berkepanjangan.
Di Simalungun, sistem pemerintahan kerajaan jauh lebih tertata dengan kekuasaan terpusat pada raja. Pewarisan tahta diatur jelas berdasarkan garis keturunan ibu. Raja-raja Simalungun diwajibkan menikahi permaisuri dari keluarga bangsawan tertentu.
Meskipun demikian, para raja Simalungun sering menyalahgunakan kekuasaan mereka dengan melancarkan perang penaklukan dan menindas rakyat. Denda yang tinggi sering dikenakan pada rakyat kecil, bahkan untuk pelanggaran sepele, yang berujung pada perbudakan.
Ironisnya, meskipun sistem pemerintahan Karo terkesan kacau, rakyat kecil di sana justru menikmati kehidupan yang lebih baik dibandingkan rakyat di Simalungun.
Hal ini disebabkan oleh kuatnya jiwa kemerdekaan rakyat Karo dan persaingan antar kepala adat yang saling mengawasi.
Namun, pengaruh positif pemerintah Belanda mulai membawa perubahan bagi rakyat Simalungun. Campur tangan pemerintah mengurangi kesewenang-wenangan raja. Baik raja maupun rakyat bahkan mengharapkan integrasi resmi ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Meyakinkan orang Batak yang penuh kecurigaan memerlukan waktu dan usaha keras dari para pejabat Belanda. Perjalanan ke wilayah-wilayah merdeka dilakukan untuk lebih mengenal negeri dan penduduknya.
Selain pejabat, orang-orang sipil Eropa juga melakukan perjalanan ke daerah tersebut. Meskipun demikian, perjalanan semacam ini umumnya tidak terlalu berbahaya, kecuali di wilayah Pakpak.
Cara bepergian di daerah ini bervariasi. Pejabat sering melakukan perjalanan dengan rombongan besar, sementara orang sipil cenderung memilih rombongan kecil agar lebih leluasa. Akomodasi yang didapatkan para pelancong seringkali kurang memadai menurut standar Eropa.
Di huta-huta Simalungun yang lebih besar, kondisi penginapan umumnya lebih baik dengan adanya balei (balai) yang berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat pertemuan. Balei seringkali dihiasi dengan ukiran indah.
Kondisi ini menunjukkan kompleksitas interaksi antara Kesultanan Aceh dan suku Batak di masa lalu, yang tercermin dalam berbagai aspek budaya, politik, dan sosial. Pengaruh Aceh tidak hanya sebatas pengakuan kekuasaan, tetapi juga meresap dalam penamaan wilayah, desain nisan, dan bahkan memori kolektif masyarakat. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap sepenuhnya kedalaman dan keluasan jejak Kesultanan Aceh di Tanah Batak.
Dibuat oleh AI, lihat info lainnya
1. https://www.facebook.com/share/p/1Bk9xgJN4u/
2. https://www.facebook.com/share/p/19iZVjNnvs/
3. https://sianjurmulamula.blogspot.com/2025/04/sebuah-kisah-dari-pustaka-alim-kembaren.html?m=1
4. https://www.facebook.com/share/p/16VBtuMMkf/
About Admin2
HumSpace merupakan blog Batak Space Research Center in Humbang Hasundutan (BSRCHH). Berusaha untuk menggairahkan riset antariksa di Humbang Hasunduta. Kirim masukanmu ke redaksi.dekho@gmail.com.
0 comments:
Post a Comment