Dua cara menentukan awal Ramadhan
Syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:
Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Hilal adalah fase paling awal dari kemunculan bulan. Oleh karena itu hilal berupa garis tipis yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Namun para ulama membolehkan menggunakan teropong atau alat bantu lainnya untuk membantu melihat keberadaan hilal.
Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
صوموا لرؤيَتِهِ وأفطِروا لرؤيتِهِ ، فإنْ غبِّيَ عليكم فأكملوا عدةَ شعبانَ ثلاثينَ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan bulan Sya’ban jadi 30 hari” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه
“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berlebaran hingga engkau melihat hilal” (HR. Muslim 1080)
Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Atau dengan kata lain, ini bukanlah perkara khilafiyah di kalangan para ulama, walaupun banyak disangka sebagai perkara khilafiyah oleh orang-orang awam. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”
Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rays hafizhahullah menyatakan: “orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:
Pertama, metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas
Kedua, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.
Ketiga, para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu ‘Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah” (dikutip dari http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5904).
Oleh karena itu saudariku, dalil sudah shahih dan jelas, ulama pun sudah ijma‘, maka hendaknya dalam masalah ini kita singkirkan fanatisme kelompok dan opini-opini dan pasrah untuk menerima dalil.
Mengikuti pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan
Saudariku, Islam adalah agama yang mengajarkan untuk bersatu dan tidak berpecah belah, maka Islam pun memerintahkan untuk taat pada pemerintah selama mereka Muslim dan bukan dalam perkara maksiat. Demikian juga dalam penentuan awal Ramadhan, dengan taat pada keputusan pemerintah, akan dicapai persatuan dalam hal ini. Dan sikap inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
‘Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).
Dalam lafadz yang lain:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka”
At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.
As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).
Hal ini juga sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dimana beliau berlaku sebagai kepala pemerintah. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu’anhu berkata:
تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.
Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :
أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Oleh karena itu saudariku, hendaknya demikian yang kita amalkan, yaitu taat pada keputusan pemerintah dalam penentuan awal bulan Ramadhan. Walhamdulillah, negeri kita penguasanya Muslim dan juga selalu menggunakan ru’yatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan. Dengan demikian amalan kita sesuai dengan dalil-dalil syar’i dan juga terwujudlah persatuan ummat. Utamakanlah persatuan ummat daripada pendapat-pendapat individu dan golongan.
Demikian bahasan yang singkat ini, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua sehingga bisa menjadi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan ridha-Nya.
Wabillahit Taufiq Wa Sadaad..
Sumber: https://muslimah.or.id/6104-saudariku-inilah-cara-menentukan-awal-bulan-ramadhan.html
About Admin2
HumSpace merupakan blog Batak Space Research Center in Humbang Hasundutan (BSRCHH). Berusaha untuk menggairahkan riset antariksa di Humbang Hasunduta. Kirim masukanmu ke redaksi.dekho@gmail.com.
0 comments:
Post a Comment